PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Daerah pinggiran kota adalah
suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah “urban fringer” atau daerah “peri
urban” atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang memerlukan
perhatian yang serius karena begitu pentingnya daerah tersebut terhadap peri
kehidupan penduduk baik desa maupun kota di masa yang akan datang. Sebagai
contoh kawasan perkotaan Mamminasata yang terdapat WPU disekir kawasan
tersebut.
WPU ini menentukan peri kehidupan
kekotaan karena segala bentuk perkembangan fisikal baru akan terjadi di wilayah
ini, sehingga tatanan kehidupan kekotaan pada masa yang akan datang sangat
ditentukan oleh bentuk, proses dan dampak perkembangan yang terjadi di WPU
tersebut. Tanpa adanya perhatian khusus pada WPU ini, sangat dimungkinkan
terjadi suatu bentuk dan proses perkembangan fisikal kekotaan baru yang
mengarah pada dampak negatif.
Salah satu WPU dari Kawasan
Perkotaan Mamminasata adalah Desa Patallassang yang berada di Kecamatan Patallassang.
Di pihak lain, WPU juga berbatasan langsung dengan daerah pedesaan dan
sementara itu, di dalamnya masih banyak fisikal baru dari kota. Padahal sudah
diketahui bahwa WPU ini merupakan sasaran perkembangan penduduk desa yang masih
menggantungkan kehidupan dan penghidupannya pada sector pertanian. Suatu
keniscayaan yang muncul didalamnya adalah hilangnya lahan pertanian. Konflik
antara mempertahankan lahan pertanian untuk kepentingan sector kedesaan di satu
sisi dan melepaskan lahan pertanian di sisi lain untuk kepentingan perkembangan
fisikal baru sector kekotaan merupakan bentuk konflik pemanfaatan lahan paling
mencolok. Tidak berlebihan kiranya mengatakan bahwa WPU ini seolah-olah
merupakan ajang pertempuran (battle front) antara sector kedesaan dan sector
kekotaan, di mana tidak pernah ada kenyataan empiris yang mengemukakan bahwa
sector kedesaan memenangkan peperangan ini.
Jelas kiranya, dampak yang bakal
muncul dimasa yang akan datang berkenaan dengan pemekaran fisikal kekotaan
(urban sprawl) terhadap WPU yang terkait dengan peri kehidupan dan penghidupan
kedesaan, khususnya bagi petani.
Hilangnya lahan pertanian,
menurunnya produktivitas pertanian, menurunnya komitmen petani terhadap lahan
maupun kegiatan pertaniannya, hilangnya bidang pekerjaan pertanian,
ketidaksiapan petani masuk ke sector non-pertanian/kekotaan dan hilangnya
atmosfir kedesaan dalam berbagai dimensi merupakan beberapa contoh dampak
negative dalam skala lokal dan regional yang secara langsung maupun tidak telah
berpengaruh terhadap peri kehidupan sector kedesaan. (Yunus,2008:).
Akibat adanya perluasan pembangunan
pada daerah pinggiran kota yang sebelumnya merupakan suatu daerah desa, maka
akan timbul lingkungan baru yang biasa disebut sub urban atau yang biasa
disebut dalam perspektif lingkungan (Koestoer, 2007:198). Di wilayah desa-kota
ini cenderung terjadi konflik tentang tanah antara pemanfaatan ruang bagi
kepentingan industry, pendidikan, pariwisata maupun prasarana pendukung
lainnya.
Pada dasarnya dengan adanya WPU
maka setiap masyarakat yang ada di muka bumi ini dalam hidupnya dapat
dipastikan akan mengalami apa yag dinamakan dengan perubahan-perubahan. Adanya
perubahan-perubahan tersebut akan dapat diketahui bila kita melakukan sutu
perbandingan dengan menelaah suatu masyarakat pada masa tertentu yang kemudian
dibandingkan dengan keadaan masyarakat pada masa lampau.
Perubahan-perubahan yang terjadi
dalam masyarakat, pada intinya merupakan suatu proses yang terjadi terus
menerus, ini artinya bahwa masyarakat pada kenyataannya akan mengalami
perubahan-perubahan. Tetapi perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dengan
masyarakat yang lain tidaklah sama. Kerena ada yang disebut perubahan sosial
dan perubahan ekonomi. Untun perubahan ekonomi terkait dengan perubahan kondisi
fisik dan beberapa aspek yang terkait didalamnya. Sebagaimana perubahan yang
terjadi di Kelurahan Patallassang.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
gambaran umum fisik dan ekonomi Desa Patallassang?
2. Bagaimana
perencanaan ekonomi dan perencanaan fisik di Desa Patallassang?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui gambaran umum fisik dan ekonomi Desa Patallassang.
2. Untuk
mengetahui perencanaan ekonomi dan perencanaan fisi di Desa Patallassang.
D.
Sistematika
Pembahasan
Dalam
penulisan Laporan ini dilakukan dengan mengurut data sesuai dengan tingkat
kebutuhan dan kegunaan, sehingga semua aspek yang dibutuhkan dalam proses
selanjutnya terangkum secara sistematis, dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB
I : PENDAHULUAN
Berisi uraian mengenai latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan juga sistematika pembahasan.
BAB
II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab
ini membahas tentang Pengertian Wilayah Peri Urban, Pengertian Desa,
Karakteristik Masyarakat , Perubahan Fisik/Spasial, dan Perubahan Ekonomi.
BAB
III : GAMBARAN UMUM WILAYAH DANANALISIS
Bab ini membahas tentang gambaran
umum Kelurahan Patallassang dan analisis yang digunakan.
BAB
IV : PENUTUP
Dalam bab ini menyajikan tentang
kesimpulan dan saran dari berbagai pihak.
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pengertian
Wilayah Peri Urban
Istilah peri urban merupakan istilah yang berasal
dari bahasa Inggris. Istilah peri merupakan kata sifat yang bermakna pinggiran
atau sekitar dari suatu objek tertentu. Sementara istilah urban merupakan
istilah yang berarti sifat kekotaan atau sesuatu yang berkenaan dengan kota.
Penggabungan dari kedua istilah tersebut yaitu peri dan urban akan membentuk
kata sifat baru yang secara harafiah berarti sifat kekotaan dan sekitar,
sehingga apabila ditambah dengan kata region, maka kata peri urban region
mempunyai makna sebagai suatu wilayah yang berada disekitar perkotaan.
Kawasan peri urban merupakan kawasan yang berdimensi
multi, hal ini dikarenakan pengkaburan makna sekitar perkotaan, yang
berarti memiliki makna sifat kekotaan dan sifat kedesaan. Pengidentifikasian
kawasan peri urban sangat sulit jika dilihat dari dimensi non-fisikal, oleh
karena itu pada tahap pengenalan kawasan peri urban hanya didasarkan pada
istilah kedesaan maupun kekotaan dari segi fisik morfologi yang diindikasikan
oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris versus penggunaan lahan agraris..
dari sisi ini wilayah perkotaan merupakan suatu wilayah yang didominasi oleh
bentuk pemanfaatan lahan non-agraris, sedangkan wilayah kedesaan adalah wilayah
yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris.
Dari segi sosial-ekonomi pengidentifikasian kawasan
peri urban ini sedikit berbeda dengan pengidentifikasian secara fisikal, karena
pengidentifikasian segi ini menyangkut perilaku sosial maupun ekonomi
masyarakat. Secara ilmiah penentuan batasan kawasan peri urban ini sanagt
sulit, namun McGee (1994:13) mengemukakan bahwa “batas terluar dari kawasan
peri urban ini adalah tempat dimana orang masih mau menglaju untuk
bekerja/melakukan kegiatan kekota”. Hal seperti ini tidak menutup
kemungkinan terjadi di kawasan peri urban. Pagi hari orang akan melakukan
perjalanan dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan, dan sebaliknya di sore
hari, orang akan melakukan perjalanan pulang dari kawasan perkotaan ke kawasan
pedesaaan. Dengan demikian dari waktu kewaktu kawasan peri urban ini akan
semakin meluas baik ditinjau dari segi fisikal morfologis maupun dari segi
sosial ekonomi. Fenomena transportasi didasarkan pada kenyataan bahwa saat ini
selalu bertambah canggih dengan kemampuan jangkau yang semakin jauh ditambah
penyingkatan waktu yang diperlukan untuk melakukan perjalanan.
Batasan fisikal morfologis kawasan peri urban
mengisyaratkan adanya kecendrungan semakin luasnya kawasan peri urban ini. Hal
ini didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa pertambahan penduduk dan
kegiatannya selalu diikuti dengan tuntutan peningkatan ruang yang akan
dimanfaatkan, baik digunakan sebagai tempat tinggal maupun untuk tempat
kegiatan lainnya. Perkembangan sarana dan prasarana transportasi memegang
peranan yang sangat signifikan atas perkembangan kawasan peri urban. Yang
terkait didalamya adalah wilayah desa.
Secara historis desa merupakan cikal bakal
terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan jauh sebelum negara Indonesia
terbentuk. Sejarah perkembangan desa - desa di Indonesia telah mengalami
perjalanan yang sangat panjang, bahkan lebih tua dari Republik Indonesia
sendiri. Sebelum masa kolonial, di berbagai daerah telah dikenal kelompok
masyarakat yang bermukim di suatu wilayah atau daerah tertentu dengan ikatan
kekerabatan atau keturunan. Pola pemukiman berdasarkan keturunan atau ikatan
emosional kekerabatan berkembang terus baik dalam ukuran maupun jumlah yang
membentuk gugus atau kesatuan pemukiman.
Pada masa itu, desa merupakan kesatuan masyarakat
kecil seperti sebuah rumah tangga besar, yang dipimpin oleh anggota keluarga
yang paling dituakan atau dihormati berdasarkan garis keturunan. Pola hubungan
dan tingkat komunikasi pada masa itu masih sangat rendah, terutama di daerah
perdesaan terpencil dan pedalaman. Namun di pulau Jawa proses itu terjadi cukup
cepat dan lebih baik dibanding dengan apa yang terjadi di pulau lainnya,
sehingga perkembangan masyarakat yang disebut desa lebih cepat mengalami
perubahan.
Ketika kolonial mengukuhkan kakinya di Indonesia
pada jaman pra kemerdekaan, mulai terjadi perubahan politik dan pemerintahan
yang sangat mendasar, dimana kekuasaan melakukan intervensi dalam tata
organisasi desa untuk mempertahankan hegemoninya. Secara cepat situasi politik,
pemerintahan mempengaruhi sifat dan bentuk desa mulai mengalami proses transisi
dan berubah menjadi wilayah teritorial atau memiliki wilayah hukum. Selama
penjajahan Belanda, desa menjadi perpanjangan tangan pemerintah dengan
diterbitkannya berbagai aturan dan undang-undang yang disusun untuk kepentingan
kolonial. Meski dalam proses penentuan dan pemilihan pemimpin desa masih belum
dicampuri, namun Belanda mulai memposisikan pimpinan desa sebagai wakil dari
kepentingan penguasa secara tersamar.
Ketika bangsa Indonesia merdeka, ternyata intervensi
kebijakan terhadap organisasi dan kelembagaan masyarakat desa cenderung
meningkat, bahkan terjadi penyeragaman terhadap berbagai aturan pemerintahan.
Desa menjadi lahan subur bagi upaya memperkuat kekuasaan politik tertentu. Hal
ini tidak lebih baik, jika dibandingkan dengan yang diterapkan pemerintahan
kolonial yang masih menyadari adanya perbedaan dalam organisasi masyarakat
desa. Pada masa kolonial masih membedakan berbagai undang-undang dan aturan
yang berbeda antara Pulau Jawa dengan pulau lainnya (IGO, Inlandsche
Gemeente Ordonantie untuk Jawa dan IGOB, Inlandsche Gemeente Ordonantie
Buitengewesten, untuk luar Jawa). Meskipun keduanya tetap merongrong
eksistensi otonomi desa yang sudah tumbuh cukup lama di Indonesia.
Pada tahun 1818, pemerintah kolonial Belanda telah
merinci persyaratan untuk menjadi Kepala Desa, dengan memasukkan unsur-unsur
lain seperti pendidikan, kesehatan jasmani, mental, fisik, dan usia di luar
perilaku etika dan moralitas berupa budi pekerti, ketauladanan, ketaatan
beragama, dan norma susila lainnya. Sejak saat itu, dimulai babak baru
intervensi kekuasaan kolonial terhadap beragam organisasi dan kelembagaan desa
untuk kepentingan pihak luar. Pemerintah kolonial memberikan peran ganda kepada
Kepala Desa, di satu sisi bertindak mewakili kepentingan rakyatnya, disisi lain
mewakili kepentingan pimpinan atau atasan yang banyak ditunggangi kepentingan
pribadi atau kekuasaan.
Ironisnya setelah pasca kemerdekaan gejala
intervensi terhadap kehidupan organisasi dan masyarakat perdesaan semakin
meningkat, baik selama periode orde lama, maupun orde baru. Desa telah menjadi
korban dari kebijakan pembangunan yang deterministik sentralistik, bahkan dalam
banyak hal ditujukan untuk kepentingan politik. Dinamika kelembagaan desa
terpinggirkan, kemiskinan semakin meluas dan pola pembangunan berjalan tidak berkelanjutan.
Kecenderungan kekeliruan pembangunan perdesaan akibat paradigma yang tidak
tepat ternyata menjadi penyebab utama rendahnya kemandirian masyarakat desa. Bahkan
pada tahun 60-an, ketika partai politik menjadikan desa sebagai basis untuk menggalang
kekuatan mengakibatkan perubahan tatanan masyarakat yang sangat kohesif menjadi
tersegmentasi dalam berbagai kepentingan. Pelapisan atau “patronclient” terdesak
oleh arus pertentangan politik masyarakat kota, sehingga desa atau masyarakat
perdesaan mengalami pengikisan nilai-nilai kelembagaan dan kemandirian.
Ketika pemerintah semakin gencar dengan kebijakan
pertumbuhan (growth), khususnya pada masa orde baru, banyak kalangan
akademisi dan praktisi pembangunan menilai bahwa nilai-nilai lokal yang tumbuh
di desa sejak lama dapat dijadikan pertimbangan dalam membangun demokrasi dan
kemandirian masyarakat. Terlebih tuntutan reformasi untuk membangun good
governance dan penguatan otonomi desa perlu diaktualisasikan kembali
nilai-nilai sosial yang telah terbangun di desa serta keterlibatan masyarakat
secara penuh dalam pengambilan keputusan di tingkat desa hingga kebijakan
nasional. Pertanyaannya apakah gambaran ideal tersebut masih relevan
dikembalikan sebagai “nilai-nilai” tradisi lama, atau justru diperlukan suatu
pendekatan baru berupa penyesuaian paradigma yang lebih sesuai dengan jaman. Berikut
ini akan dijelaskan mengenai Desa dan aspek yang terkait dengan pedesaan.
B.
Pengertian
Desa
Istilah desa berasal
dari bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat tinggal,
negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan
kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas (Yayuk dan Mangku, 2003). Istilah
desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village
yang dibandingkan dengan kota (city/town) dan perkotaan (urban).
Konsep perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat
sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau
teritorial, dalam hal ini perdesaan mencakup beberapa desa (Antonius T, 2003).
Kuntjaraningrat (1977)
mendefinisikan desa sebagai komunitas kecil yang menetap di suatu daerah,
sedangkan Bergel (1995) mendefinisikan desa sebagai setiap pemukiman para
petani. Landis menguraikan pengertian desa dalam tiga aspek; (1) analisis
statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduk kurang
dari 2500 orang, (2) analisis sosial psikologis, desa merupakan suatu lingkungan
yang penduduknya memiliki hubungan akrab dan bersifat informal diantara sesama
warganya, dan (3) analisis ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan
dengan penduduknya tergantung kepada pertanian. Di Indonesia penggunaan istilah
tersebut digunakan dengan cara yang berbeda untuk masing-masing daerah, seperti
dusun bagi masyarakat Sumatera Selatan, dati bagi Maluku, kuta
untuk Batak, nagari untuk Sumatera Barat, atau wanua di Minahasa.
Bagi masyarakat lain istilah desa memiliki keunikan tersendiri dan berkaitan
erat dengan mata pencahararian, norma dan adat istiadat yang berlaku. Zakaria
(2000) menyatakan, desa adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama atau suatu
wilayah, yang memiliki suatu organisasi pemerintahan dengan serangkaian
peraturanperaturan yang ditetapkan sendiri, serta berada di bawah pimpinan desa
yang dipilih dan ditetapkan sendiri. Definisi ini, menegaskan bahwa desa
sebagai satu unit kelembagaan pemerintahan mempunyai kewenangan pengelolaan
wilayah perdesaan. Wilayah perdesaan sendiri diartikan sebagai wilayah yang
penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya
alam, dengan susunan fungsi wilayah sebagai pemukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Dalam PP Nomor 76/ 2001
tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa dinyatakan bahwa desa sebagai
suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak
asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal
18 Undang-undang Dasar 1945. Dalam Bab 1, Ketentuan Umum, Pasal 1, dinyatakan
bahwa “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di
daerah kabupaten”.
Berdasarkan pengertian
di atas dapat disimpulkan bahwa desa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang
dibangun berdasarkan sejarah, nilai-nilai, budaya, hukum dan keistimewaan
tertentu yang diakui dalam sistem kenegaraan kesatuan Republik Indonesia yang
memiliki kewenangan untuk mengatur, mengorganisir dan menetapkan kebutuhan
masyarakatnya secara mandiri.
C. Karakteristik Masyarakat Desa
Dalam
beberapa kajian dibedakan antara masyarakat kota (urban community) dan
desa (rural community) berdasarkan letak geografis, kebiasaan dan
karakteristik keduanya. Menurut Roucek dan Warren (1962) masyarakat desa
memiliki karakteristik sebagai berikut; (1) peranan kelompok primer sangat
besar; (2) faktor geografis sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat;
(3) hubungan lebih bersifat intim dan awet; (4) struktur masyarakat bersifat
homogen; (5) tingkat mobilitas sosial rendah; (6) keluarga lebih ditekankan
kepada fungsinya sebagai unit ekonomi; (7) proporsi jumlah anak cukup besar
dalam struktur kependudukan.
Sorokin
dan Zimerman dalam T.L Smith dan P.E Zop (1970) mengemukakan sejumlah faktor
yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota, yaitu; mata
pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan,
diferensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dam solidaritas
sosial.
Masyarakat
desa umumnya hidup dalam situasi kemiskinan dengan mata pencaharian sangat
tergantung dari kondisi geografis wilayahnya, seperti usaha tani, nelayan,
ternak, kerajinan tangan dan pedagang kecil. Ciri lain yang masih nyata
terlihat, produksi pertanian yang ditekuni masyarakat terutama untuk memenuhi
keperluan sendiri (subsistence).
Masyarakat
desa dalam kehidupan sehari-hari masih memegang teguh tradisi, nilai-nilai dan
adat istiadat secara turun temurun. Bukan berarti tradisi dan adat istiadat
yang dianut tidak menunjang usaha pembangunan, sebagian justru dibutuhkan untuk
memelihara kelangsungan hidup dan lingkungan. Tetapi harus diakui sebagian
tradisi dan adat istiadat yang dianut menghambat dan menghalangi usaha
pembangunan itu sendiri (Siagian, 1983).
Secara psikologis
masyarakat desa cenderung memiliki sifat konservatif dan ortodoks, fatalis dan
suka curiga terhadap orang luar. Namun demikian, masyarakat desa dapat bersikap
hemat, cermat dan menghormati orang lain yang terkadang sulit ditemukan di
perkotaan. Beberapa ciri khas yang membedakan antara penduduk desa dengan kota
diantaranya;
1.
Kehidupan dan mata pencaharian di desa
sangat erat hubungannya dengan alam.
2.
Pada umumnya anggota keluarga mengambil
peran dalam kegiatan bertani dengan tingkat keterlibatan yang berbeda-beda.
3.
Masyarakat desa sangat terikat dengan
lingkungan dan nilai-nilai yang dianutnya.
4.
Terbangunnya kekerabatan yang sangat
kuat, pola kehidupan keluarga dan masyarakat yang saling ketergantungan,
sehingga berkembang nilai-nilai gotong royong, kerjasama, perasaan
sepenanggungan dan tolong menolong.
5.
Corak feodalisme masih nampak meskipun
dalam perkembangannya mulai berkurang.
6.
Hidup di desa banyak berkaitan dengan
tradisi, nilai, norma adat yang telah berkembang secara turun temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya, sehingga masyarakat desa cenderung di cap
“statis”.
7.
Keterbukaan dan keterlibatan yang sangat
erat dengan permasalahan rohani atau keagamaan sangat kental.
8.
Terkadang untuk sebagian masyarakat
sangat meyakini nilai-nilai atau kepercayaan yang bersifat mistis sehingga
kurang menerima hal-hal yang bersifat rasional dan kurang kritis.
9.
Karena kondisi alam atau kepadatan
penduduk dengan beban tanggungan keluarga besar, sementara sempitnya lahan
pekerjaan bagi masyarakat mengakibatkan kemiskinan dan kemelaratan sehingga
mendorong sikap apatis.
Gambar 2.1
Struktur Pemerintahan Desa
Jumlah dan jabatan
perangkat desa disesuaikan dengan tradisi dan perkembangan setempat yang diatur
melalui Perda dan Perdes. Unsur-unsur perangkat desa yaitu;
1.
Unsur staf, yaitu petugas pelayanan
kegiatan administrasi pemerintahan desa, seperti Sekretaris Desa dan atau Tata
Usaha Desa.
2.
Unsur pelaksana, yaitu; pelaksana teknis
lapangan, seperti Urusan Pamong Tani Desa, dan Urusan Keamanan.
3.
Unsur wilayah, yaitu unsur pembantu
Kepala Desa di wilayah bagian desa, seperti Kepala Dusun Sistem administrasi
pemerintahan desa yang dikembangkan berupa pelayanan administrasi yang sesuai
dengan kebutuhan nyata masyarakat untuk mewujudkan pelayanan yang cepat dan efisien
kepada masyarakat.
Peran
serta masyarakat dalam pemerintahan desa dilakukan sebagai berikut;
1. Meningkatkan
kesadaran untuk melibatkan diri dalam pengelolaan pembangunan baik pada tahap
perancanaan, pelaksanaan dan pengawasan maupun pemilikan dan pengembangan.
2. Memberikan
masukan dan kritik yang membangun kepada pemerintah desa.
D.
Perubahan
Spasial / Fisik
Transformasi spasial adalah
perubahan perubahan yang terjadi dalam tata ruang kawasan peri-urban. Menurut
Yunus (2008), transformasi spasial merupakan artikulasi dari kegiatan manusia
yang ada di permukaan bumi. Transformasi
spasial di wilayah peri-urban dapat berupa :
1.
perubahan
bentuk pemanfaatan lahan,
2.
perubahan
harga lahan,
3. perubahan lingkungan.
1. Perubahan
Bentuk Pemanfaatan Lahan
Salah satu perubahan bentuk
pemanfaatan lahan di wilayah peri-urban
yang terjadi hampir di semua negara adalah
hilangnya lahan pertanian karena berubah fungsi menjadi kawasan permukiman atau komersil. Konversi lahan pertanian
menjadi non-pertanian dapat
mengakibatkan penurunan produksi pertanian.
Yunus (2008) mencatat hilangnya
lahan-lahan pertanian yang digantikan
oleh keberadaan pabrik atau kawasan industry, merupakan potensi yang signifikan
terhadap penurunan produktifitas lahan. Munculnya pabrik atau industry yang
membuang limbahnya ke sungai tanpa treatment yang cukup, sangat mengancam
kualitas air dan tanah di lahan pertanian sehingga berpotensi menurunkan
produktifitas lahan. Perubahan bentuk pemanfaatan lahan lainnya adalah semakin
banyaknya area terbangun (built up area) terutama untuk permukiman akibat
semakin banyak jumlah penduduk di wilayah peri-urban. Zona-zona di sekitar kota
merupakan kawasan favorit untuk “disulap” menjadi kawasan permukiman karena kedekatannya
dengan tempat bekerja di kota, tetapi kenyamanan tinggal di pinggiran kota
dapat sekaligus dicapai.
2. Perubahan
Harga Lahan
Perubahan harga lahan di wilayah
peri-urban umumnya berupa kenaikan harga yang cukup signifikan. Beberapa faktor
yang menyebabkan harga lahan di wilayah peri-urban terus meningkat adalah
perubahan karakteristik lahan dari karakter desa ke karakter kota yang memiliki
berbagai kelebihan seperti telah tersedianya infrastruktur pendukung seperti
jalan yang baik, saluran air bersih, listrik dari pemerintah (PLN), jaringan
telepon, dan sebagainya.
Selain itu, perubahan yang cepat di
wilayah peri-urban telah pula mendorong lahirnya para spekulan tanah yang
secara langsung maupun tidak langsung turut menentukan kenaikan harga lahan.
3. Perubahan
Lingkungan
Perubahan lingkungan salah satunya
dipicu dari konversi lahan pertanian menjadi permukiman atau industri, yang
tidak diantisipasi sejak awal. Kemunculan industri besar atau kecil dikawasan
peri-urban dapat menyebabkan polusi air, tanah, dan udara. Perubahan lingkungan
lainnya dapat berupa: berkurangnya kawasan hijau dan resapan air, berkurangnya
keragaman flora dan fauna akibat perubahan habitatnya, perubahan suhu dan musim
yang tidak menentu, dan sebagainya.
E.
Perubahan
Ekonomi
Perubahan ekonomi adalah perubahan
struktur kegiatan ekonomi akibat peri - urbanisasi. Salah satu perubahan yang
mencolok dalam hal aktifitas ekonomi di
wilayah peri urban adalah perubahan mata pencaharian penduduk yang tinggal di
wilayah peri-urban dari petani menjadi non-petani. Yunus (2008) menulis bahwa
perubahan tersebut, dalam beberapa hal, merupakan berkah tersendiri, namun
dalam beberapa hal yang lain banyak menimbulkan efek negatif. Banyaknya petani
yang berubah menjadi non-petani, mengakibatkan perubahan perilaku ekonomi,
sosial, dan budaya.
F.
Standarisasi
Dalam Penetapan Sarana/Fasilitas
1.
Perencanaan
Fisik
Perencanaan fisik merupakan perencanaan
yang mengacu pada:
a. Aspek
penggunaan Lahan
b. Aspek
Sarana
Untuk
perencanaan fisik yang meliputi aspek sarana memiliki standarisasi yaitu :
1) Sarana
Pemerintahan
Standarisasi kebutuhan
fasilitas perkantoran yaitu:
a) Memiliki
parkir umum + MCK seluas 200 m2, setiap unit melayani 2.500 jiwa.
b) Balai
pertemuan dengan luas lahan 600 m2 , setiap un it melayani penduduk
sekitar 2.500 jiwa.
c) Kantor
Camat dengan luas lahan 2.000 m2.
d) Kantor
Lurah dengan luas lahan 1.000 m 2.
e) Kantor
pos pembantu dengan luas lahan 200 m2.
f) Pos
Polisi dengan luas lahan 400 m2.
g) Kantor
koramil dengan luas lahan 400 m2.
2) Sarana
Pendidikan
Rencana kebutuhan sarana pendidikan
maupun sarana sosial ekonomi lainnya didasarkan pada standar perencanaan
kebutuhan sarana kota (PU.Cipta Karya),
dengan standar luasan dan berpedoman pada tingkat kepadatan penduduk. Dan lebih
mendasar lagi adalah bagaimana memadukan antara supply and demand dengan
standar yang digunakan.
a) Taman
Kanan – Kanak (TK), penduduk pendukung fasilitas ini minimal 1000 orang dengan
luas lahan 2.400 m2.lokasinya sebaiknya berada di tengah – tengah
kelompok keluarga, jumlah murid dengan standar 3 ruang kelas terdiri dari 30 –
40 murid di setiap satu ruang kelas.
b) Sekolah
Dasar (SD), penduduk pendukung 1.600 jiwa dengan luas lahan 7.200 m2.
Radius pencapaian daerah yang dilayani maksimum 100 m.
c) Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), penduduk pendukung minimal 4.800 jiwa dengan
luas lahan 5.400 m2. Standar murid 40 murid/kelas.
d) Sekolah
Menengah Umum (SMU), penduduk pendukung minimal 4.800 jiwa untuk sebuah SMU. Luas lahan 5.400
m2. Standar 30 murid / kelas dengan 14 kelas (pagi/sore).
3) Sarana
Kesehatan
Fungsi utama sarana ini adalah
memberikan pelayanan medis kepada penduduk. Oleh karena itu standarisasi
penyediaan saran kesehatan sebagai berikut:
a) Puskesmas
pembantu, minimal penduduk pendukungnya adalah 30.000 jiwa dengan luas lahan
2.400 m2. Dengan radius pencapaian 1.500 m.
b) BKIA/Rumah
Bersalin, penduduk pendukungnya 10.000 jiwa dengan luas lahan 3.200 m2.
Radius pencapaian maksimal 2.000 m.
c) Apotik,
penduduk pendukung minimal 10.000 jiwa dengan luas lahan 700 m2.
d) Praktek
Dokter, untuk menciptakan optimalisasi pelayanan kesehatan yang baik kepada
masyarakat, maka lokalitas sarana ini disatukan dengan perumahan penduduk dan
setiap unitnya melayani penduduk 5.000 jiwa.
e) Balai
pengobatan, minimal penduduk pendukungnya 3.000 jiwa dengan luas lahan 600 m2.
Radius pencapaian maksimum 1.500 m.
4) Sarana
Peribadatan
Penghitung kebutuhan fasilitas
peribadatan di kawasan perencanaan disesuaikan dengan jumlah penduduk pemeluk
agama yang ada. Standarisasi penyediaan sarana peribadatan yaitu:
a) Masjid,
penduduk pendukungnya adalah 30.000 jiwa dengan luas 3.500 m2.
Lokasi penempatan saran ini berada dalam satu pusat lingkungan dan dekat dengan
konsentrasi penduduk.
b) Mushallah/Langgar,
penduduk minimal 2.500 jiwa , dengan luas lahan 600 m2. Lokasi
penempatan fasilitas tergantung kondisi konsentrasi dan distribusi pemeluk
agama yang bersangkutan.
5) Fasilitas
Perdagangan
Keberadaan pasar merupakan salah satu
tingkat pelayanan regional sangat besar manfaatnya bagi kegiatan perekonomian
yang diharapkan dapat berperan sebagai titik pusat kegiatan jasa distribusi
barang – barang produksi yang dapat menarik dan mendorong laju pertumbuhan desa
– desa pad wilayah pelayanannya. Standarisasi penyediaan sarana perdagangan
yaitu:
a) Pertokoan,
penduduk pendukung minimal 2.500 jiwa dengan luas lahan 2.400 m2. Criteria
lokasi terletak pada jalan utama lingkungan dan mengelompokkan dengan pusat
lingkungan.
b) Warung/kios,
penduduk pendukungnya adalah 250 jiwa. Criteria lokasi dipusat lingkungan yang
mudah dicapai dengan radius maksimal 500 m.
6) Fasilitas
Olahraga dan Ruang Terbuka
Fasilitas olahraga dan ruang terbuka
adalah semua bangunan dan taman yang digunakan untuk kegiatan olahraga dan
rekreasi. Lokalitas sarana ini umumnya terletak di tengah – tengah lingkungan
permukiman terutama untuk taman. Standarisasi penyediaan sarana ini yaitu :
a) Taman,
untuk pelayanan 250 jiwa, saran ini berfungsi sebagai ruang hijau sebuah
wilayah baik kota maupun desa, luas setiap unit 500 m2.
b) Taman
Tempat Bermain, untuk pelayanan 2.500 jiwa yang berfungsi sebagai ruang terbuka
dan tempat bermain. Sarana ini dibutuhkan lahan seluas 2.500 m2.
c) Lapangan
olahraga dengan luas lahan 18.000 m2.
2.
Perencanaan
Ekonomi
Perencanaan
ekonomi berkaitan dengan perubahan struktur ekonomi suatu wilayah dan merupakan
tolak ukur untuk menunjang kreativitas masyarakat dalam system perekonomian.
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Waktu
dan Lokasi
Penelitian ini
dilakukan di Desa Patallassang, Kecamatan
Patallassang,
dan dimulai pada tanggal 11 Februari 2013 .
B.
Metode
Pengumpulan Data
Dalam
penyusunan laporan terdapat beberapa tahap sehingga agar lebih efisien dan
terstruktur yaitu :
1. Persiapan
Survey, meliputi:
a. Persiapan
dasar
1)
Kegiatan
awal untuk merumuskan tujuan dan
sasaran.
2)
Mengatasi
masalah-masalah yang mungkin muncul.
b.
Persiapan
Teknis
1)
Persiapan
peta dasar.
2)
Penyusunan list data.
2. Survey Data, meliputi :
a.
Data Primer
Data primer terdiri
dari: Observasi Lapangan.
Observasi lapangan dilakukan untuk memperoleh data yang
lebih akurat dan sekaligus membandingkan atau mencocokkan data dari instansi
terkait dengan data yang sebenarnya di lapangan.
b. Data
Sekunder
Data
Sekunder terdiri dari:
1)
Survey
Data Instansi
Survey data
instansi dilakukan untuk mengumpulkan data dari beberapa instansi terkait. Data
tersebut dapat berupa uraian, data tabulasi angka, ataupun peta yang
menggambarkan daerah atau wilayah survey pada umumnya dan bahkan lebih
spesifik.
2)
Kepustakaan
Hal ini dilakukan
dengan maksud untuk mengumpulkan berbagai data-data penting tentang daerah atau
wilayah survey dari berbagai rujukan buku atau literatur.
3. Kompilasi
Data
Kompilasi data adalah langkah menggabungkan semua
data-data yang didapatkan dari hasil survey dan baik itu berupa data primer
atau hasil dari survey lapangan maupun data sekunder yang didapatkan dari
instansi-instansi terkait kemudian dituangkan atau dikonsep ke dalam suatu
bentuk laporan yang sistematis.
Data yang berhasil dikumpulkan dari survey termasuk di
dalamnya penelaahan data sekunder, penelaahan pustaka dan dokumen dikumpulkan
dan disusun sedemikian rupa agar mudah dibaca, mudah dilihat kaitannya satu
dengan yang lain, dan informatif. Usaha penyusunan demikian disebut pula dengan
kompilasi data.
Tahap kompilasi data ini harus mempunyai bobot pra
analisis. Artinya, dari kompilasi data ini sudah dapat terbaca segala
kecenderungan di masa mendatang yang akan sangat penting peranannya dalam
proses peramalan.
Kompilasi data mempengaruhi oleh sistem analisis yang
akan digunakan yang juga menentukan volume data yang dibutuhkan. Oleh karena
itu pencatatan data harus dibuat sedemikian rupa agar dapat berguna bagi
analisis apapun yang terkait. Dengan kata lain, pencatatan data harus dibuat
selengkap mungkin dan terperinci.
Kompilasi data ini dapat disajikan dengan berbagai cara
antara lain dalam bentuk verbalisasi, tabulasi, grafik dan diagram, serta
visualisasi dan pemetaan.
4. Penggambaran
Peta
Penggambaran
peta merupakan suatu langkah untuk memvisualisasikan atau menggambarkan hasil
survey yang telah didapat agar lebih jelas. Adapun penggambaran peta tersebut
terdiri dari penggambaran peta dasar, peta penggunaan lahan.
5. Analisis
Untuk
mengolah data yang sudah tersedia maka diperlukan suatu analisis yang berkaitan
dengan perencanaan sosial terkait dengan kondisi fisik di wilayah Desa
Patallassang Kecamatan Patallassang. Adapun analisisnya sebagai berikut. Yang
pertama, Analisis Aspek Fisik Dasar. Analisis
Aspek Fisik Dasar Merupakan Analisis yang digunakan untuk mengetahui seberapa
besar daya dukung kondisi wilayah perencanaan yang nantinya dapat membantu
dalam melakukan perencanaan. Analisis ini diantaranya; Topografi, Geologi dan
Jenis Tanah, Hidrologi, serta Tata Guna Lahan. Yang kedua, Analisis Aspek Demografi. Terdiri dari : Jumlah Penduduk 5 Tahun
Terakhir, dan Kepadatan Penduduk 5 Tahun Terakhir. Yang ketiga, adalah Analisis Aspek Perekonomian. Analisis
ini diantaranya : Analisis Tanaman Pangan, Analisis Peternakan.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari laporan hasil penelitian
ini yaitu:
a. Gambaran
perubahan fisik lahan dan ekonomi masyarakat di Desa Patallassang, Kecamatan
Pattallassang, Kabupaten Gowa:
a. Gambaran
perubahan fisik lahan dalam waktu lima tahun terakhir di Desa Patallassang
yaitu mengalami peningkatan pada luas penggunaan lahan permukiman dan mengalami
penurunan pada luas RTH dan pertamanan, sawah, dan perkebunan. Terjadinya
perubahan fisik demikian menjadikan wilayah ini menjadi zona bingkai desa
karena 75% penggunaan lahannya masih tetap dipengaruhi oleh kegiatan pertanian.
b. Gambaran
perubahan ekonomi di Desa Patallassang dalam waktu lima tahun terakhir yaitu
terjadinya penurunan penggunaan luas lahan perkebunan, peningkatan pada lahan
usaha pertanian
b. Perencanaan
fisik lahan dan perencanaan ekonomi masyarakat di Desa Patallassang, Kecamatan
Pattallassang, Kabupaten Gowa:
a. Perencanaan
fisik lahan pada Desa Patallassang yaitu terfokus pada tiga aspek yaitu:
1) Perencanaan
Penggunaan Lahan, dengan menekankan pada penyediaan lahan untuk pelayanan jasa.
2) Perencanaan
Saran di Desa Patallasang yaitu penambahan sarana pendidikan berupa sarana
pendidikan yaitu SD 1 Unit, SMP 1 Unit,. Penyediaan sarana kesehatan berupa
poskesdes 1 unit.
3) Perencanaan
Transportasi di Desa Patallassang hanya berupa perbaikan jalan saja agar
mempermudah akses masyarakat.
.
B.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat
diberikan yaitu sebagai berikut:
1. Perlunya
kerjasama yang baik antara masyarakat, pemerintah dan swasta dalam proses
perencanaan fisik dan ekonomi di Desa Patallassang.
2. Perlunya
kesadaran bagi tiap masyarakat yang meskipun desanya termasuk dalam wilayah
peri urban / kawasa perkotaan Mamminasata, maka tidak seharusnya mementingkan
nilai ekonomi dibandingkan nilai ekologi. Akan tetapi menyeimbangkan diantara
keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Tato Syahriar. 2009. “Pendekatan Sistem Dalam Struktur Spasial
Wilayah Peri Urban” (http://syahriartato.wordpress.com/2009/12/28/struktur-spasial-wilayah-pheri-urban-sebagai-sistem-dari-tata-ruang-kota/)
Ultra
Dewi. 2010. “Konsepsi kawasan Peri urban”. (http://dewiultralight08.
wordpress.com/2010/12/06/konsepsi-kawasan-peri-urban/)
Hasil
Analisis Tim Peneliti 2013
Kecamatan
Pattallassang dalam Angka 2008 – 2012 (BPS)
RPJMD
Desa Patallassang Tahun 2008 – 2012 (Kantor Desa)
Survey
Lapangan di Desa Patallassang 2013