Kamis, 25 April 2013

Andi Wulan Maulana/Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota









Deskripsi Kota Beirut Lebanon


Lebanon / Lubnan (Arab) dapat dikatakan negara multi culture di kawasan Timur Tengah. Hampir sebagian besar peduduknya merupakan perpaduan keturunan Arab dan Eropa (khususnya Perancis). Bentuk pemerintahan adalah Republic of Lebanon (Inggris), Al Jumhuriyh Al Lubnaniyah (Arab), Re’publique Libanaise (Perancis), Republik Lebanon (Indonesia). Ibukotanya adalah Beirut.
Secara umum berbentuk pegunungan terletak di wilayah Timur Dekat (Near East), di tepi Timur Laut Mediterania / Laut Tengah. Sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan negara Syria, sebelah Barat menghadap ke Laut Tengah (Mediterranean Sea) dan Siprus, dan sebelah Selatan dengan Israel. Luas Wilayah 10.452 km persegi dengan panjang pesisir pantainya sekitar 212 km dan terbagi atas 6 wilayah / propinsi yang sebagian besarnya merupakan daerah perkotaan yaitu :
·         Beirut
·         Mount  Lebanon
·         North Lebanon
·         South Lebanon Sidon
·         South Lebanon Nabatieh
·         Bekaa.

Beirut, ibukota dan pelabuhan utama Lebanon berasal dari 3000 sebelum Masehi, ketika ia merupakan pelabuhan penting bagi orang Punisia. Penjajahan Romawi-lah yang pertama kali menarik perhatian orang kepada Beirut pada tahun 14 sebelum Masehi. Berlokasi diantara bukit al-Ashrafiyah dan al-Musaytibah, Beirut terletak disebuah lembah yang terlindung, dimana orang Romawi membangun saluran air bawah tanah untuk memasok penduduk kota yang terus bertumbuh. Beirut mendapat reputasi untuk sekolah hukumnya (yang ketiga sepanjang abad ke 6), tetapi mengalami kehancuran besar-besaran akibat serangkaian gempa bumi yang menyerang dengan cepat, dan berpuncak pada munculnya gelombang pasang pada tahun 551. Orang-orang Islam, yang memasuki Beirut pada tahun 635, umumnya hanya menemukan reruntuhan dan kemudian membangun kembali kota ini secara perlahan-lahan, memungkinkan berkembangnya sebuah pelabuhan dagang yang menjadi pelabuhan singgah utama di Siria bagi para sasudagar rempah-rempah Venesia.
    Revolusi Industri dan penduduk Mesir atas Siria pada tahun 1832 menggairahkan kembali peran penting kota itu dalam perdagangan yang meredup selama pemerintahan Ottoman Para pengungsi Kristen melarikan diri ke Beirut dari perang saudara di pegunungan – pegunungan Siria, sementara para misionaris Protestan dari Amerika Serikat, Inggris dan Jerman menambah jumlah penduduk kota ini. Pada akhir Perang Dunia ke I, yang menandai jatuhnya kekaisaran Ottoman Turki, Prancis menciptakan Negara Lebanon Besar, yang menjadi Republik Lebanon pada tahun 1926. Beirut berperan sebagai pusat perekonomian, sosial, intelektual dan kebudayaan di Timur Tengah antara 1952 hingga 1975. Sebuah pusat pariwisata, salah satu pemimpin perbankan, dan pelabuhan masuk utama untuk daerah sekitarnya, keberhasilan Beirut hancur secara tiba-tiba akibat munculnya perang terbuka antara kelompok – kelompok Islam dan Kristen. Perang Arab-Israel pada tahun 1967 menyeret organisasi-organisasi, perlawanan Palestina ke Beirut, yang memperoleh repotasi sebagai markas besar gerakan tersebut. Beirut menjadi wilayah perang yang dahsyat pada tahun 80′an. Berbagai pasukan milisi lokal, ditambah pasukan Israel dan milisi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina), melaksanakan peperangan yang keji di Lebanon, mengakibatkan hancurnya sebagian besar Beirut Barat dan melumpuhkan kota yang pernah begitu hidup.
    Dimulai dengan populasi 100.000 jiwa di tahun 1890, kota ini mengalami pertumbuhan luar biasa (bertambah 10 kali lipat antara tahun 1930′an hingga 1970′an). Namun dengan terjadinya perang saudara, jumlah penduduknya merosot hingga hanya mencapai 1,1 juta di tahun 1995.




Rabu, 27 Februari 2013

Tugas : Laporan Pembangunan Masyarakat


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Daerah pinggiran  kota adalah suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah “urban fringer” atau daerah “peri urban” atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang memerlukan perhatian yang serius karena begitu pentingnya daerah tersebut terhadap peri kehidupan penduduk baik desa maupun kota di masa yang akan datang. Sebagai contoh kawasan perkotaan Mamminasata yang terdapat WPU disekir kawasan tersebut.
WPU ini menentukan peri kehidupan kekotaan karena segala bentuk perkembangan fisikal baru akan terjadi di wilayah ini, sehingga tatanan kehidupan kekotaan pada masa yang akan datang sangat ditentukan oleh bentuk, proses dan dampak perkembangan yang terjadi di WPU tersebut. Tanpa adanya perhatian khusus pada WPU ini, sangat dimungkinkan terjadi suatu bentuk dan proses perkembangan fisikal kekotaan baru yang mengarah pada dampak negatif.
Salah satu WPU dari Kawasan Perkotaan Mamminasata adalah Desa Patallassang yang berada di Kecamatan Patallassang. Di pihak lain, WPU juga berbatasan langsung dengan daerah pedesaan dan sementara itu, di dalamnya masih banyak fisikal baru dari kota. Padahal sudah diketahui bahwa WPU ini merupakan sasaran perkembangan penduduk desa yang masih menggantungkan kehidupan dan penghidupannya pada sector pertanian. Suatu keniscayaan yang muncul didalamnya adalah hilangnya lahan pertanian. Konflik antara mempertahankan lahan pertanian untuk kepentingan sector kedesaan di satu sisi dan melepaskan lahan pertanian di sisi lain untuk kepentingan perkembangan fisikal baru sector kekotaan merupakan bentuk konflik pemanfaatan lahan paling mencolok. Tidak berlebihan kiranya mengatakan bahwa WPU ini seolah-olah merupakan ajang pertempuran (battle front) antara sector kedesaan dan sector kekotaan, di mana tidak pernah ada kenyataan empiris yang mengemukakan bahwa sector kedesaan memenangkan peperangan ini.
Jelas kiranya, dampak yang bakal muncul dimasa yang akan datang berkenaan dengan pemekaran fisikal kekotaan (urban sprawl) terhadap WPU yang terkait dengan peri kehidupan dan penghidupan kedesaan, khususnya bagi petani.
Hilangnya lahan pertanian, menurunnya produktivitas pertanian, menurunnya komitmen petani terhadap lahan maupun kegiatan pertaniannya, hilangnya bidang pekerjaan pertanian, ketidaksiapan petani masuk ke sector non-pertanian/kekotaan dan hilangnya atmosfir kedesaan dalam berbagai dimensi merupakan beberapa contoh dampak negative dalam skala lokal dan regional yang secara langsung maupun tidak telah berpengaruh terhadap peri kehidupan sector kedesaan. (Yunus,2008:).
Akibat adanya perluasan pembangunan pada daerah pinggiran kota yang sebelumnya merupakan suatu daerah desa, maka akan timbul lingkungan baru yang biasa disebut  sub urban atau yang biasa disebut dalam perspektif lingkungan (Koestoer, 2007:198). Di wilayah desa-kota ini cenderung terjadi konflik tentang tanah antara pemanfaatan ruang bagi kepentingan industry, pendidikan, pariwisata maupun prasarana pendukung lainnya.
Pada dasarnya dengan adanya WPU maka setiap masyarakat yang ada di muka bumi ini dalam hidupnya dapat dipastikan akan mengalami apa yag dinamakan dengan perubahan-perubahan. Adanya perubahan-perubahan tersebut akan dapat diketahui bila kita melakukan sutu perbandingan dengan menelaah suatu masyarakat pada masa tertentu yang kemudian dibandingkan dengan keadaan masyarakat pada masa lampau.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, pada intinya merupakan suatu proses yang terjadi terus menerus, ini artinya bahwa masyarakat pada kenyataannya akan mengalami perubahan-perubahan. Tetapi perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain tidaklah sama. Kerena ada yang disebut perubahan sosial dan perubahan ekonomi. Untun perubahan ekonomi terkait dengan perubahan kondisi fisik dan beberapa aspek yang terkait didalamnya. Sebagaimana perubahan yang terjadi di Kelurahan Patallassang.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana gambaran umum fisik dan ekonomi Desa Patallassang?
2.      Bagaimana perencanaan ekonomi dan perencanaan fisik di Desa Patallassang?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui gambaran umum fisik dan ekonomi Desa Patallassang.
2.      Untuk mengetahui perencanaan ekonomi dan perencanaan fisi di Desa Patallassang.
D.    Sistematika Pembahasan
      Dalam penulisan Laporan ini dilakukan dengan mengurut data sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kegunaan, sehingga semua aspek yang dibutuhkan dalam proses selanjutnya terangkum secara sistematis, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I :  PENDAHULUAN
Berisi uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan juga sistematika pembahasan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA       
Bab ini membahas tentang Pengertian Wilayah Peri Urban, Pengertian Desa, Karakteristik Masyarakat , Perubahan Fisik/Spasial, dan Perubahan Ekonomi.
BAB III : GAMBARAN UMUM WILAYAH DANANALISIS
Bab ini membahas tentang gambaran umum Kelurahan Patallassang dan analisis yang digunakan.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini menyajikan tentang kesimpulan dan saran dari berbagai pihak.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Wilayah Peri Urban
Istilah peri urban merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Istilah peri merupakan kata sifat yang bermakna pinggiran atau sekitar dari suatu objek tertentu. Sementara istilah urban merupakan istilah yang berarti sifat kekotaan atau sesuatu yang berkenaan dengan kota. Penggabungan dari kedua istilah tersebut yaitu peri dan urban akan membentuk kata sifat baru yang secara harafiah berarti sifat kekotaan dan sekitar, sehingga apabila ditambah dengan kata region, maka kata peri urban region mempunyai makna sebagai suatu wilayah yang berada disekitar perkotaan.
Kawasan peri urban merupakan kawasan yang berdimensi multi, hal ini dikarenakan pengkaburan makna sekitar perkotaan, yang berarti memiliki makna sifat kekotaan dan sifat kedesaan. Pengidentifikasian kawasan peri urban sangat sulit jika dilihat dari dimensi non-fisikal, oleh karena itu pada tahap pengenalan kawasan peri urban hanya didasarkan pada istilah kedesaan maupun kekotaan dari segi fisik morfologi yang diindikasikan oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris versus penggunaan lahan agraris.. dari sisi ini wilayah perkotaan merupakan suatu wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan non-agraris, sedangkan wilayah kedesaan adalah wilayah yang didominasi oleh bentuk pemanfaatan lahan agraris.
Dari segi sosial-ekonomi pengidentifikasian kawasan peri urban ini sedikit berbeda dengan pengidentifikasian secara fisikal, karena pengidentifikasian segi ini menyangkut perilaku sosial maupun ekonomi masyarakat. Secara ilmiah penentuan batasan kawasan peri urban ini sanagt sulit, namun McGee (1994:13) mengemukakan bahwa “batas terluar dari kawasan peri urban ini adalah tempat dimana orang masih mau menglaju untuk bekerja/melakukan kegiatan kekota”. Hal seperti ini tidak menutup kemungkinan terjadi di kawasan peri urban. Pagi hari orang akan melakukan perjalanan dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan, dan sebaliknya di sore hari, orang akan melakukan perjalanan pulang dari kawasan perkotaan ke kawasan pedesaaan. Dengan demikian dari waktu kewaktu kawasan peri urban ini akan semakin meluas baik ditinjau dari segi fisikal morfologis maupun dari segi sosial ekonomi. Fenomena transportasi didasarkan pada kenyataan bahwa saat ini selalu bertambah canggih dengan kemampuan jangkau yang semakin jauh ditambah penyingkatan waktu yang diperlukan untuk melakukan perjalanan.
Batasan fisikal morfologis kawasan peri urban mengisyaratkan adanya kecendrungan semakin luasnya kawasan peri urban ini. Hal ini didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa pertambahan penduduk dan kegiatannya selalu diikuti dengan tuntutan peningkatan ruang yang akan dimanfaatkan, baik digunakan sebagai tempat tinggal maupun untuk tempat kegiatan lainnya. Perkembangan sarana dan prasarana transportasi memegang peranan yang sangat signifikan atas perkembangan kawasan peri urban. Yang terkait didalamya adalah wilayah desa.
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Sejarah perkembangan desa - desa di Indonesia telah mengalami perjalanan yang sangat panjang, bahkan lebih tua dari Republik Indonesia sendiri. Sebelum masa kolonial, di berbagai daerah telah dikenal kelompok masyarakat yang bermukim di suatu wilayah atau daerah tertentu dengan ikatan kekerabatan atau keturunan. Pola pemukiman berdasarkan keturunan atau ikatan emosional kekerabatan berkembang terus baik dalam ukuran maupun jumlah yang membentuk gugus atau kesatuan pemukiman.
Pada masa itu, desa merupakan kesatuan masyarakat kecil seperti sebuah rumah tangga besar, yang dipimpin oleh anggota keluarga yang paling dituakan atau dihormati berdasarkan garis keturunan. Pola hubungan dan tingkat komunikasi pada masa itu masih sangat rendah, terutama di daerah perdesaan terpencil dan pedalaman. Namun di pulau Jawa proses itu terjadi cukup cepat dan lebih baik dibanding dengan apa yang terjadi di pulau lainnya, sehingga perkembangan masyarakat yang disebut desa lebih cepat mengalami perubahan.
Ketika kolonial mengukuhkan kakinya di Indonesia pada jaman pra kemerdekaan, mulai terjadi perubahan politik dan pemerintahan yang sangat mendasar, dimana kekuasaan melakukan intervensi dalam tata organisasi desa untuk mempertahankan hegemoninya. Secara cepat situasi politik, pemerintahan mempengaruhi sifat dan bentuk desa mulai mengalami proses transisi dan berubah menjadi wilayah teritorial atau memiliki wilayah hukum. Selama penjajahan Belanda, desa menjadi perpanjangan tangan pemerintah dengan diterbitkannya berbagai aturan dan undang-undang yang disusun untuk kepentingan kolonial. Meski dalam proses penentuan dan pemilihan pemimpin desa masih belum dicampuri, namun Belanda mulai memposisikan pimpinan desa sebagai wakil dari kepentingan penguasa secara tersamar.
Ketika bangsa Indonesia merdeka, ternyata intervensi kebijakan terhadap organisasi dan kelembagaan masyarakat desa cenderung meningkat, bahkan terjadi penyeragaman terhadap berbagai aturan pemerintahan. Desa menjadi lahan subur bagi upaya memperkuat kekuasaan politik tertentu. Hal ini tidak lebih baik, jika dibandingkan dengan yang diterapkan pemerintahan kolonial yang masih menyadari adanya perbedaan dalam organisasi masyarakat desa. Pada masa kolonial masih membedakan berbagai undang-undang dan aturan yang berbeda antara Pulau Jawa dengan pulau lainnya (IGO, Inlandsche Gemeente Ordonantie untuk Jawa dan IGOB, Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten, untuk luar Jawa). Meskipun keduanya tetap merongrong eksistensi otonomi desa yang sudah tumbuh cukup lama di Indonesia.
Pada tahun 1818, pemerintah kolonial Belanda telah merinci persyaratan untuk menjadi Kepala Desa, dengan memasukkan unsur-unsur lain seperti pendidikan, kesehatan jasmani, mental, fisik, dan usia di luar perilaku etika dan moralitas berupa budi pekerti, ketauladanan, ketaatan beragama, dan norma susila lainnya. Sejak saat itu, dimulai babak baru intervensi kekuasaan kolonial terhadap beragam organisasi dan kelembagaan desa untuk kepentingan pihak luar. Pemerintah kolonial memberikan peran ganda kepada Kepala Desa, di satu sisi bertindak mewakili kepentingan rakyatnya, disisi lain mewakili kepentingan pimpinan atau atasan yang banyak ditunggangi kepentingan pribadi atau kekuasaan.
Ironisnya setelah pasca kemerdekaan gejala intervensi terhadap kehidupan organisasi dan masyarakat perdesaan semakin meningkat, baik selama periode orde lama, maupun orde baru. Desa telah menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang deterministik sentralistik, bahkan dalam banyak hal ditujukan untuk kepentingan politik. Dinamika kelembagaan desa terpinggirkan, kemiskinan semakin meluas dan pola pembangunan berjalan tidak berkelanjutan. Kecenderungan kekeliruan pembangunan perdesaan akibat paradigma yang tidak tepat ternyata menjadi penyebab utama rendahnya kemandirian masyarakat desa. Bahkan pada tahun 60-an, ketika partai politik menjadikan desa sebagai basis untuk menggalang kekuatan mengakibatkan perubahan tatanan masyarakat yang sangat kohesif menjadi tersegmentasi dalam berbagai kepentingan. Pelapisan atau “patronclient” terdesak oleh arus pertentangan politik masyarakat kota, sehingga desa atau masyarakat perdesaan mengalami pengikisan nilai-nilai kelembagaan dan kemandirian.
Ketika pemerintah semakin gencar dengan kebijakan pertumbuhan (growth), khususnya pada masa orde baru, banyak kalangan akademisi dan praktisi pembangunan menilai bahwa nilai-nilai lokal yang tumbuh di desa sejak lama dapat dijadikan pertimbangan dalam membangun demokrasi dan kemandirian masyarakat. Terlebih tuntutan reformasi untuk membangun good governance dan penguatan otonomi desa perlu diaktualisasikan kembali nilai-nilai sosial yang telah terbangun di desa serta keterlibatan masyarakat secara penuh dalam pengambilan keputusan di tingkat desa hingga kebijakan nasional. Pertanyaannya apakah gambaran ideal tersebut masih relevan dikembalikan sebagai “nilai-nilai” tradisi lama, atau justru diperlukan suatu pendekatan baru berupa penyesuaian paradigma yang lebih sesuai dengan jaman. Berikut ini akan dijelaskan mengenai Desa dan aspek yang terkait dengan pedesaan.
B.        Pengertian Desa
Istilah desa berasal dari bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas (Yayuk dan Mangku, 2003). Istilah desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village yang dibandingkan dengan kota (city/town) dan perkotaan (urban). Konsep perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial, dalam hal ini perdesaan mencakup beberapa desa (Antonius T, 2003).
Kuntjaraningrat (1977) mendefinisikan desa sebagai komunitas kecil yang menetap di suatu daerah, sedangkan Bergel (1995) mendefinisikan desa sebagai setiap pemukiman para petani. Landis menguraikan pengertian desa dalam tiga aspek; (1) analisis statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduk kurang dari 2500 orang, (2) analisis sosial psikologis, desa merupakan suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan akrab dan bersifat informal diantara sesama warganya, dan (3) analisis ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduknya tergantung kepada pertanian. Di Indonesia penggunaan istilah tersebut digunakan dengan cara yang berbeda untuk masing-masing daerah, seperti dusun bagi masyarakat Sumatera Selatan, dati bagi Maluku, kuta untuk Batak, nagari untuk Sumatera Barat, atau wanua di Minahasa. Bagi masyarakat lain istilah desa memiliki keunikan tersendiri dan berkaitan erat dengan mata pencahararian, norma dan adat istiadat yang berlaku. Zakaria (2000) menyatakan, desa adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama atau suatu wilayah, yang memiliki suatu organisasi pemerintahan dengan serangkaian peraturanperaturan yang ditetapkan sendiri, serta berada di bawah pimpinan desa yang dipilih dan ditetapkan sendiri. Definisi ini, menegaskan bahwa desa sebagai satu unit kelembagaan pemerintahan mempunyai kewenangan pengelolaan wilayah perdesaan. Wilayah perdesaan sendiri diartikan sebagai wilayah yang penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam, dengan susunan fungsi wilayah sebagai pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Dalam PP Nomor 76/ 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa dinyatakan bahwa desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945. Dalam Bab 1, Ketentuan Umum, Pasal 1, dinyatakan bahwa “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa desa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang dibangun berdasarkan sejarah, nilai-nilai, budaya, hukum dan keistimewaan tertentu yang diakui dalam sistem kenegaraan kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengorganisir dan menetapkan kebutuhan masyarakatnya secara mandiri.
C.    Karakteristik Masyarakat Desa
Dalam beberapa kajian dibedakan antara masyarakat kota (urban community) dan desa (rural community) berdasarkan letak geografis, kebiasaan dan karakteristik keduanya. Menurut Roucek dan Warren (1962) masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai berikut; (1) peranan kelompok primer sangat besar; (2) faktor geografis sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat; (3) hubungan lebih bersifat intim dan awet; (4) struktur masyarakat bersifat homogen; (5) tingkat mobilitas sosial rendah; (6) keluarga lebih ditekankan kepada fungsinya sebagai unit ekonomi; (7) proporsi jumlah anak cukup besar dalam struktur kependudukan.
Sorokin dan Zimerman dalam T.L Smith dan P.E Zop (1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota, yaitu; mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, diferensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dam solidaritas sosial.
Masyarakat desa umumnya hidup dalam situasi kemiskinan dengan mata pencaharian sangat tergantung dari kondisi geografis wilayahnya, seperti usaha tani, nelayan, ternak, kerajinan tangan dan pedagang kecil. Ciri lain yang masih nyata terlihat, produksi pertanian yang ditekuni masyarakat terutama untuk memenuhi keperluan sendiri (subsistence).
Masyarakat desa dalam kehidupan sehari-hari masih memegang teguh tradisi, nilai-nilai dan adat istiadat secara turun temurun. Bukan berarti tradisi dan adat istiadat yang dianut tidak menunjang usaha pembangunan, sebagian justru dibutuhkan untuk memelihara kelangsungan hidup dan lingkungan. Tetapi harus diakui sebagian tradisi dan adat istiadat yang dianut menghambat dan menghalangi usaha pembangunan itu sendiri (Siagian, 1983).
Secara psikologis masyarakat desa cenderung memiliki sifat konservatif dan ortodoks, fatalis dan suka curiga terhadap orang luar. Namun demikian, masyarakat desa dapat bersikap hemat, cermat dan menghormati orang lain yang terkadang sulit ditemukan di perkotaan. Beberapa ciri khas yang membedakan antara penduduk desa dengan kota diantaranya;
1.      Kehidupan dan mata pencaharian di desa sangat erat hubungannya dengan alam.
2.      Pada umumnya anggota keluarga mengambil peran dalam kegiatan bertani dengan tingkat keterlibatan yang berbeda-beda.
3.      Masyarakat desa sangat terikat dengan lingkungan dan nilai-nilai yang dianutnya.
4.      Terbangunnya kekerabatan yang sangat kuat, pola kehidupan keluarga dan masyarakat yang saling ketergantungan, sehingga berkembang nilai-nilai gotong royong, kerjasama, perasaan sepenanggungan dan tolong menolong.
5.      Corak feodalisme masih nampak meskipun dalam perkembangannya mulai berkurang.
6.      Hidup di desa banyak berkaitan dengan tradisi, nilai, norma adat yang telah berkembang secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga masyarakat desa cenderung di cap “statis”.
7.      Keterbukaan dan keterlibatan yang sangat erat dengan permasalahan rohani atau keagamaan sangat kental.
8.      Terkadang untuk sebagian masyarakat sangat meyakini nilai-nilai atau kepercayaan yang bersifat mistis sehingga kurang menerima hal-hal yang bersifat rasional dan kurang kritis.
9.      Karena kondisi alam atau kepadatan penduduk dengan beban tanggungan keluarga besar, sementara sempitnya lahan pekerjaan bagi masyarakat mengakibatkan kemiskinan dan kemelaratan sehingga mendorong sikap apatis.
Gambar 2.1 Struktur Pemerintahan Desa

Jumlah dan jabatan perangkat desa disesuaikan dengan tradisi dan perkembangan setempat yang diatur melalui Perda dan Perdes. Unsur-unsur perangkat desa yaitu;
1.      Unsur staf, yaitu petugas pelayanan kegiatan administrasi pemerintahan desa, seperti Sekretaris Desa dan atau Tata Usaha Desa.
2.      Unsur pelaksana, yaitu; pelaksana teknis lapangan, seperti Urusan Pamong Tani Desa, dan Urusan Keamanan.
3.      Unsur wilayah, yaitu unsur pembantu Kepala Desa di wilayah bagian desa, seperti Kepala Dusun Sistem administrasi pemerintahan desa yang dikembangkan berupa pelayanan administrasi yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat untuk mewujudkan pelayanan yang cepat dan efisien kepada masyarakat.
Peran serta masyarakat dalam pemerintahan desa dilakukan sebagai berikut;
1.      Meningkatkan kesadaran untuk melibatkan diri dalam pengelolaan pembangunan baik pada tahap perancanaan, pelaksanaan dan pengawasan maupun pemilikan dan pengembangan.
2.      Memberikan masukan dan kritik yang membangun kepada pemerintah desa.
D.    Perubahan Spasial / Fisik
Transformasi spasial adalah perubahan perubahan yang terjadi dalam tata ruang kawasan peri-urban. Menurut Yunus (2008), transformasi spasial merupakan artikulasi dari kegiatan manusia yang ada di permukaan bumi.  Transformasi spasial di wilayah peri-urban dapat berupa :
1.      perubahan bentuk pemanfaatan lahan,
2.      perubahan harga lahan,
3.      perubahan lingkungan.
1.      Perubahan Bentuk Pemanfaatan Lahan
Salah satu perubahan bentuk pemanfaatan lahan  di wilayah peri-urban yang terjadi hampir di semua negara adalah  hilangnya lahan pertanian karena berubah fungsi menjadi kawasan  permukiman atau komersil. Konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dapat  mengakibatkan penurunan produksi pertanian.
Yunus (2008) mencatat hilangnya lahan-lahan  pertanian yang digantikan oleh keberadaan pabrik atau kawasan industry, merupakan potensi yang signifikan terhadap penurunan produktifitas lahan. Munculnya pabrik atau industry yang membuang limbahnya ke sungai tanpa treatment yang cukup, sangat mengancam kualitas air dan tanah di lahan pertanian sehingga berpotensi menurunkan produktifitas lahan. Perubahan bentuk pemanfaatan lahan lainnya adalah semakin banyaknya area terbangun (built up area) terutama untuk permukiman akibat semakin banyak jumlah penduduk di wilayah peri-urban. Zona-zona di sekitar kota merupakan kawasan favorit untuk “disulap” menjadi kawasan permukiman karena kedekatannya dengan tempat bekerja di kota, tetapi kenyamanan tinggal di pinggiran kota dapat sekaligus dicapai.
2.      Perubahan Harga Lahan
Perubahan harga lahan di wilayah peri-urban umumnya berupa kenaikan harga yang cukup signifikan. Beberapa faktor yang menyebabkan harga lahan di wilayah peri-urban terus meningkat adalah perubahan karakteristik lahan dari karakter desa ke karakter kota yang memiliki berbagai kelebihan seperti telah tersedianya infrastruktur pendukung seperti jalan yang baik, saluran air bersih, listrik dari pemerintah (PLN), jaringan telepon, dan sebagainya.
Selain itu, perubahan yang cepat di wilayah peri-urban telah pula mendorong lahirnya para spekulan tanah yang secara langsung maupun tidak langsung turut menentukan kenaikan harga lahan.
3.      Perubahan Lingkungan
Perubahan lingkungan salah satunya dipicu dari konversi lahan pertanian menjadi permukiman atau industri, yang tidak diantisipasi sejak awal. Kemunculan industri besar atau kecil dikawasan peri-urban dapat menyebabkan polusi air, tanah, dan udara. Perubahan lingkungan lainnya dapat berupa: berkurangnya kawasan hijau dan resapan air, berkurangnya keragaman flora dan fauna akibat perubahan habitatnya, perubahan suhu dan musim yang tidak menentu, dan sebagainya.
E.     Perubahan Ekonomi
Perubahan ekonomi adalah perubahan struktur kegiatan ekonomi akibat peri - urbanisasi. Salah satu perubahan yang mencolok  dalam hal aktifitas ekonomi di wilayah peri urban adalah perubahan mata pencaharian penduduk yang tinggal di wilayah peri-urban dari petani menjadi non-petani. Yunus (2008) menulis bahwa perubahan tersebut, dalam beberapa hal, merupakan berkah tersendiri, namun dalam beberapa hal yang lain banyak menimbulkan efek negatif. Banyaknya petani yang berubah menjadi non-petani, mengakibatkan perubahan perilaku ekonomi, sosial, dan budaya.
F.     Standarisasi Dalam Penetapan Sarana/Fasilitas
1.      Perencanaan Fisik
Perencanaan fisik merupakan perencanaan yang mengacu pada:
a.       Aspek penggunaan Lahan
b.      Aspek Sarana
      Untuk perencanaan fisik yang meliputi aspek sarana memiliki standarisasi yaitu :
1)      Sarana Pemerintahan
Standarisasi kebutuhan fasilitas perkantoran yaitu:
a)      Memiliki parkir umum + MCK seluas 200 m2, setiap unit melayani 2.500 jiwa.
b)      Balai pertemuan dengan luas lahan 600 m2 , setiap un it melayani penduduk sekitar 2.500 jiwa.
c)      Kantor Camat dengan luas lahan 2.000 m2.
d)     Kantor Lurah dengan luas lahan 1.000 m 2.
e)      Kantor pos pembantu dengan luas lahan 200 m2.
f)       Pos Polisi dengan luas lahan 400 m2.
g)      Kantor koramil dengan luas lahan 400 m2.
2)      Sarana Pendidikan
Rencana kebutuhan sarana pendidikan maupun sarana sosial ekonomi lainnya didasarkan pada standar perencanaan kebutuhan sarana kota (PU.Cipta Karya), dengan standar luasan dan berpedoman pada tingkat kepadatan penduduk. Dan lebih mendasar lagi adalah bagaimana memadukan antara supply and demand dengan standar yang digunakan.
a)      Taman Kanan – Kanak (TK), penduduk pendukung fasilitas ini minimal 1000 orang dengan luas lahan 2.400 m2.lokasinya sebaiknya berada di tengah – tengah kelompok keluarga, jumlah murid dengan standar 3 ruang kelas terdiri dari 30 – 40 murid di setiap satu ruang kelas.
b)      Sekolah Dasar (SD), penduduk pendukung 1.600 jiwa dengan luas lahan 7.200 m2. Radius pencapaian daerah yang dilayani maksimum 100 m.
c)      Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), penduduk pendukung minimal 4.800 jiwa dengan luas lahan 5.400 m2. Standar murid 40 murid/kelas.
d)     Sekolah Menengah Umum (SMU), penduduk pendukung minimal  4.800 jiwa untuk sebuah SMU. Luas lahan 5.400 m2. Standar 30 murid / kelas dengan 14 kelas (pagi/sore).
3)      Sarana Kesehatan
Fungsi utama sarana ini adalah memberikan pelayanan medis kepada penduduk. Oleh karena itu standarisasi penyediaan saran kesehatan sebagai berikut:
a)      Puskesmas pembantu, minimal penduduk pendukungnya adalah 30.000 jiwa dengan luas lahan 2.400 m2. Dengan radius pencapaian 1.500 m.
b)      BKIA/Rumah Bersalin, penduduk pendukungnya 10.000 jiwa dengan luas lahan 3.200 m2. Radius pencapaian maksimal 2.000 m.
c)      Apotik, penduduk pendukung minimal 10.000 jiwa dengan luas lahan 700 m2.
d)     Praktek Dokter, untuk menciptakan optimalisasi pelayanan kesehatan yang baik kepada masyarakat, maka lokalitas sarana ini disatukan dengan perumahan penduduk dan setiap unitnya melayani penduduk 5.000 jiwa.
e)      Balai pengobatan, minimal penduduk pendukungnya 3.000 jiwa dengan luas lahan 600 m2. Radius pencapaian maksimum 1.500 m.
4)      Sarana Peribadatan
Penghitung kebutuhan fasilitas peribadatan di kawasan perencanaan disesuaikan dengan jumlah penduduk pemeluk agama yang ada. Standarisasi penyediaan sarana peribadatan yaitu:
a)      Masjid, penduduk pendukungnya adalah 30.000 jiwa dengan luas 3.500 m2. Lokasi penempatan saran ini berada dalam satu pusat lingkungan dan dekat dengan konsentrasi penduduk.
b)      Mushallah/Langgar, penduduk minimal 2.500 jiwa , dengan luas lahan 600 m2. Lokasi penempatan fasilitas tergantung kondisi konsentrasi dan distribusi pemeluk agama yang bersangkutan.
5)      Fasilitas Perdagangan
Keberadaan pasar merupakan salah satu tingkat pelayanan regional sangat besar manfaatnya bagi kegiatan perekonomian yang diharapkan dapat berperan sebagai titik pusat kegiatan jasa distribusi barang – barang produksi yang dapat menarik dan mendorong laju pertumbuhan desa – desa pad wilayah pelayanannya. Standarisasi penyediaan sarana perdagangan yaitu:
a)      Pertokoan, penduduk pendukung minimal 2.500 jiwa dengan luas lahan 2.400 m2. Criteria lokasi terletak pada jalan utama lingkungan dan mengelompokkan dengan pusat lingkungan.
b)      Warung/kios, penduduk pendukungnya adalah 250 jiwa. Criteria lokasi dipusat lingkungan yang mudah dicapai dengan radius maksimal 500 m.
6)      Fasilitas Olahraga dan Ruang Terbuka
Fasilitas olahraga dan ruang terbuka adalah semua bangunan dan taman yang digunakan untuk kegiatan olahraga dan rekreasi. Lokalitas sarana ini umumnya terletak di tengah – tengah lingkungan permukiman terutama untuk taman. Standarisasi penyediaan sarana ini yaitu :
a)      Taman, untuk pelayanan 250 jiwa, saran ini berfungsi sebagai ruang hijau sebuah wilayah baik kota maupun desa, luas setiap unit 500 m2.
b)      Taman Tempat Bermain, untuk pelayanan 2.500 jiwa yang berfungsi sebagai ruang terbuka dan tempat bermain. Sarana ini dibutuhkan lahan seluas 2.500 m2.
c)      Lapangan olahraga dengan luas lahan 18.000 m2.
2.      Perencanaan Ekonomi
            Perencanaan ekonomi berkaitan dengan perubahan struktur ekonomi suatu wilayah dan merupakan tolak ukur untuk menunjang kreativitas masyarakat dalam system perekonomian.


















BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Waktu dan Lokasi
            Penelitian ini dilakukan di Desa Patallassang, Kecamatan Patallassang, dan dimulai pada tanggal 11 Februari 2013 .

B.     Metode Pengumpulan Data
Dalam penyusunan laporan terdapat beberapa tahap sehingga agar lebih efisien dan terstruktur yaitu :
1.      Persiapan Survey, meliputi:
a.      Persiapan dasar
1)        Kegiatan awal untuk merumuskan tujuan dan sasaran.
2)        Mengatasi masalah-masalah yang mungkin muncul.
b.      Persiapan Teknis
1)        Persiapan peta dasar.
2)        Penyusunan list data.
2.  Survey Data, meliputi :
a.   Data Primer
Data primer terdiri dari: Observasi Lapangan.
Observasi lapangan dilakukan untuk memperoleh data yang lebih akurat dan sekaligus membandingkan atau mencocokkan data dari instansi terkait dengan data yang sebenarnya di lapangan.
b.      Data Sekunder
Data Sekunder terdiri dari:
1)      Survey Data Instansi
Survey data instansi dilakukan untuk mengumpulkan data dari beberapa instansi terkait. Data tersebut dapat berupa uraian, data tabulasi angka, ataupun peta yang menggambarkan daerah atau wilayah survey pada umumnya dan bahkan lebih spesifik.

2)      Kepustakaan
Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengumpulkan berbagai data-data penting tentang daerah atau wilayah survey dari berbagai rujukan buku atau literatur.
3.      Kompilasi Data
Kompilasi data adalah langkah menggabungkan semua data-data yang didapatkan dari hasil survey dan baik itu berupa data primer atau hasil dari survey lapangan maupun data sekunder yang didapatkan dari instansi-instansi terkait kemudian dituangkan atau dikonsep ke dalam suatu bentuk laporan yang sistematis.
Data yang berhasil dikumpulkan dari survey termasuk di dalamnya penelaahan data sekunder, penelaahan pustaka dan dokumen dikumpulkan dan disusun sedemikian rupa agar mudah dibaca, mudah dilihat kaitannya satu dengan yang lain, dan informatif. Usaha penyusunan demikian disebut pula dengan kompilasi data.
Tahap kompilasi data ini harus mempunyai bobot pra analisis. Artinya, dari kompilasi data ini sudah dapat terbaca segala kecenderungan di masa mendatang yang akan sangat penting peranannya dalam proses peramalan.
Kompilasi data mempengaruhi oleh sistem analisis yang akan digunakan yang juga menentukan volume data yang dibutuhkan. Oleh karena itu pencatatan data harus dibuat sedemikian rupa agar dapat berguna bagi analisis apapun yang terkait. Dengan kata lain, pencatatan data harus dibuat selengkap mungkin dan terperinci.
Kompilasi data ini dapat disajikan dengan berbagai cara antara lain dalam bentuk verbalisasi, tabulasi, grafik dan diagram, serta visualisasi dan pemetaan.
4.      Penggambaran Peta
Penggambaran peta merupakan suatu langkah untuk memvisualisasikan atau menggambarkan hasil survey yang telah didapat agar lebih jelas. Adapun penggambaran peta tersebut terdiri dari penggambaran peta dasar, peta penggunaan lahan.
5.  Analisis
Untuk mengolah data yang sudah tersedia maka diperlukan suatu analisis yang berkaitan dengan perencanaan sosial terkait dengan kondisi fisik di wilayah Desa Patallassang Kecamatan Patallassang. Adapun analisisnya sebagai berikut. Yang pertama, Analisis Aspek Fisik Dasar. Analisis Aspek Fisik Dasar Merupakan Analisis yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar daya dukung kondisi wilayah perencanaan yang nantinya dapat membantu dalam melakukan perencanaan. Analisis ini diantaranya; Topografi, Geologi dan Jenis Tanah, Hidrologi, serta Tata Guna Lahan. Yang kedua, Analisis Aspek Demografi. Terdiri dari : Jumlah Penduduk 5 Tahun Terakhir, dan Kepadatan Penduduk 5 Tahun Terakhir. Yang ketiga, adalah Analisis Aspek Perekonomian. Analisis ini diantaranya : Analisis Tanaman Pangan, Analisis Peternakan.







 BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari laporan hasil penelitian ini yaitu:
a.       Gambaran perubahan fisik lahan dan ekonomi masyarakat di Desa Patallassang, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa:
a.       Gambaran perubahan fisik lahan dalam waktu lima tahun terakhir di Desa Patallassang yaitu mengalami peningkatan pada luas penggunaan lahan permukiman dan mengalami penurunan pada luas RTH dan pertamanan, sawah, dan perkebunan. Terjadinya perubahan fisik demikian menjadikan wilayah ini menjadi zona bingkai desa karena 75% penggunaan lahannya masih tetap dipengaruhi oleh kegiatan pertanian.
b.      Gambaran perubahan ekonomi di Desa Patallassang dalam waktu lima tahun terakhir yaitu terjadinya penurunan penggunaan luas lahan perkebunan, peningkatan pada lahan usaha pertanian
b.      Perencanaan fisik lahan dan perencanaan ekonomi masyarakat di Desa Patallassang, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa:
a.       Perencanaan fisik lahan pada Desa Patallassang yaitu terfokus pada tiga aspek yaitu:
1)      Perencanaan Penggunaan Lahan, dengan menekankan pada penyediaan lahan untuk pelayanan jasa.
2)      Perencanaan Saran di Desa Patallasang yaitu penambahan sarana pendidikan berupa sarana pendidikan yaitu SD 1 Unit, SMP 1 Unit,. Penyediaan sarana kesehatan berupa poskesdes 1  unit.
3)      Perencanaan Transportasi di Desa Patallassang hanya berupa perbaikan jalan saja agar mempermudah akses masyarakat.
.

B.     Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut:
1.      Perlunya kerjasama yang baik antara masyarakat, pemerintah dan swasta dalam proses perencanaan fisik dan ekonomi di Desa Patallassang.
2.      Perlunya kesadaran bagi tiap masyarakat yang meskipun desanya termasuk dalam wilayah peri urban / kawasa perkotaan Mamminasata, maka tidak seharusnya mementingkan nilai ekonomi dibandingkan nilai ekologi. Akan tetapi menyeimbangkan diantara keduanya.





















DAFTAR PUSTAKA

                  Tato Syahriar. 2009. “Pendekatan Sistem Dalam Struktur Spasial Wilayah Peri Urban” (http://syahriartato.wordpress.com/2009/12/28/struktur-spasial-wilayah-pheri-urban-sebagai-sistem-dari-tata-ruang-kota/)
Ultra Dewi. 2010. “Konsepsi kawasan Peri urban”. (http://dewiultralight08. wordpress.com/2010/12/06/konsepsi-kawasan-peri-urban/)
Hasil Analisis Tim Peneliti 2013
Kecamatan Pattallassang dalam Angka 2008 – 2012 (BPS)
RPJMD Desa Patallassang Tahun 2008 – 2012 (Kantor Desa)
Survey Lapangan di Desa Patallassang 2013